Home » » Ulama Salaf, Benteng Kokoh Penjaga Sunnah

Ulama Salaf, Benteng Kokoh Penjaga Sunnah

Oleh : Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.

Setiap orang yang beriman kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran Islam wajib meyakini bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla akan selalu menjaga kemurnian dan kebenaran agama Islam sampai hari kiamat. Penjagaan Alloh ‘Azza wa Jalla terhadap kemurnian agama Islam ini adalah dengan menjaga sumber hukum syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah hadits-hadits Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak ada alasan apapun bagi semua manusia, sejak diutusnya Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir jaman, untuk berpaling dari terangnya kebenaran Islam, ketika Alloh Ta’ala meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:

رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Alloh sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS an-Nisaa’ :165).

Penjagaan terhadap kemurnian agama Islam ini Alloh Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُون

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya” (QS al-Hijr: 9).
Penjagaan terhadap al-Qur’an dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap hadits-hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam, karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjaga kemurnian al-Qur’an pada lafazh (teks) dan kandungan maknanya[1], sedangkan kandungan makna al-Qur’an yang benar dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menjelaskan kepada umat manusia (kandungan makna al-Qur’an) yang telah diturunkan kepada mereka, supaya mereka memikirkan” (QS an-Nahl: 44).
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Sunnah (hadits-hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam) adalah penjabar dan penjelas makna al-Qur’an”[2].
Imam Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata: “Firman Alloh ini mengandung konsekwensi bahwa syariat (yang dibawa oleh) Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam akan selalu terjaga dan sunnah (hadits-hadits) beliau shallAllohu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa terpelihara”[3].
Oleh karena itu, beberapa ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) bahwa makna adz-Dzikr dalam ayat di atas bukan hanya al-Qur’an saja, tapi juga mencakup hadits-hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam, karena keduanya adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan Alloh Ta’ala kepada manusia[4].
Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Hazm berkata: “…Maka benarlah bahwa semua hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam tentang agama adalah wahyu dari Alloh ‘Azza wa Jalla, tidak ada keraguan dalam masalah ini. Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli bahasa (Arab) dan ahli syariat Islam (ulama) bahwa semua wahyu yang diturunkan dari sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan (oleh Alloh). Maka wahyu seluruhnya terjaga (kemurniannya) secara pasti dengan penjagaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dan semua hal yang dijamin penjagaannya oleh Alloh ditanggung tidak akan hilang (rusak) sedikitpun dan tidak akan berubah selamanya dengan perubahan yang tidak dijelaskan kebatilan (kesalahannya)…Maka mestilah agama yang dibawa oleh Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam (akan senantiasa) terjaga (kemurniannya) dengan penjagaan langsung dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala…”[5].

Para ulama Ahli hadits penjaga sunnah Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam
Di antara sebab utama yang Alloh Ta’ala jadikan untuk penjagaan kemurnian agama-Nya adalah dengan menghadirkan para ulama Ahli hadits di setiap generasi sejak jaman Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat.
Mereka inilah yang dimaksud dalam sabda Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam:
«يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ»

“Akan membawa ilmu agama ini dari setiap generasi orang-orang yang adil (terpercaya) dari mereka, (dan) mereka akan menghilangkan/membersihkan ilmu agama dari (upaya) at-tahriif (menyelewengkan kebenaran/merubah kebenaran dengan kebatilan) dari orang-orang yang melampaui batas, kedustaan dari orang-orang yang ingin merusak (syariat Islam) dan pentakwilan dari orang-orang yang bodoh”[6].
Imam Ibnul Qayiim berkata: “(Dalam hadits ini) Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilmu agama yang beliau shallAllohu ‘alaihi wa sallam bawa (dari wahyu Alloh Subhanahu wa Ta’ala) akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya dari umat beliau shallAllohu ‘alaihi wa sallam dari setiap generasi, supaya ilmu agama ini tidak pudar dan hilang. Ini mengandung rekomendasi dari Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam bagi para ulama yang membawa ilmu yang beliau shallAllohu ‘alaihi wa sallam diutus dengannya (ilmu sunnah Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam)”[7].
Para ulama Ahli hadits menghabiskan waktu, tenaga dan hidup mereka untuk mempelajari, menghafal dan meneliti hadits-hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam dalam rangka menjaga kemurnian dan keotentikannya.
Oleh karena itu, imam besar penghafal hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Atbaa’ut taabi’iin yang terkenal, Abdullah bin al-Mubarak, ketika beliau ditanya tentang banyaknya hadits-hadits palsu yang tersebar di tengah kaum muslimin, beliau menjawab: “Para ulama yang menekuni hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam (mencurahkan) hidup mereka untuk (meneliti dan menjelaskan) hadits-hadits tersebut”, kemudian beliau membaca firman Alloh ‘Azza wa Jalla:
إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya” (QS al-Hijr: 9)[8].
Mereka pantas untuk disebut sebagai makhluk yang khusus diciptakan Alloh Ta’ala untuk menjaga kemurnian al-Qur’an dan sunnah Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam, Sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika memuji imam Yahya bin Ma’in: “Di sini ada seorang laki-laki (Yahya bin Ma’in) yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala ciptakan (khusus) untuk urusan ini (mempelajari dan meneliti hadits-hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam) dengan beliau menyingkap kedustaan orang-orang yang berdusta (dalam hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam)”[9].
Merekalah yang selalu membela kebenaran agama Islam dan menjaga kemurniaannya sampai di akhir jaman, sebagaimana sabda Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam: “Senantiasa ada segolongan dari umatku yang (membela dan) memenangkan kebenaran, tidak akan merugikan mereka orang yang meninggalkan mereka, sampai datangnya ketentuan Alloh dalam keadaan mereka (tetap) seperti itu”[10].
Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘golongan yang selalu ditolong oleh Alloh dalam membela kebenaran’ (ath-thaaifah al-manshuurah) dalam sabda Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam ini adalah para ulama Ahli hadits, sebagaimana ucapan imam Abdullah bin al-Mubarak, imam Ahmad bin Hambal, imam ‘Ali bin al-Madini dan imam al-Bukhari, bahkan imam Ahmad bin Hambal berkata: “Kalau bukan yang dimaksud dengan ath-thaaifah al-manshuurah ini adalah Ahli hadits maka aku tidak tau siapa mereka”[11].
Imam al-Khatiib al-Baghdadi, ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata: “Sungguh Rabb semesta alam (Alloh ‘Azza wa Jalla) telah menjadikan ath-thaaifah al-manshuurah (para ulama Ahli hadits) sebagai penjaga agama Islam dan Alloh melindungi mereka dari tipu daya para penentang (kebenaran), karena (kuatnya) mereka (dalam) berpegang teguh dengan syariat Alloh yang kokoh dan (dalam) mengikuti jejak para Sahabat radhiAllohu ‘anhum dan Tabi’in.
Kesibukan mereka adalah menghafal hadits-hadits Rasululah shallAllohu ‘alaihi wa sallam, mengarungi padang pasir dan tanah tandus, serta menempuh (perjalanan) darat dan laut rangka mencari/mengumpulkan sunnah Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak akan berpaling dari petunjuk Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam kepada pemikiran dan hawa nafsu manusia.
Mereka menerima (sepenuhnya) syariat (yang dibawa oleh) Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam baik ucapan maupun perbuatan beliau shallAllohu ‘alaihi wa sallam. Mereka menjaga (kemurnian) sunnah beliau shallAllohu ‘alaihi wa sallam dengan menghafal dan menyebarkannya (kepada umat), sehingga mereka menjadikan kuat landasan sunnah (di tengah masyarakat), dan merekalah Ahli sunnah dan yang paling memahaminya.
Berapa banyak orang yang (berpemahaman) menyimpang (dari Islam) ingin mencampuradukkan syariat Islam dengan kebatilan, tapi Alloh Subhanahu wa Ta’ala membela dan menjaga syariat-Nya dengan para ulama Ahli hadits.
Maka merekalah para penjaga tiang-tiang penopang syariat Islam, penegak perintah dan hukum-hukumnya. Ketika manusia berpaling dari membela syariat Islam, maka merekalah selalu membela dan mempertahankannya.
أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Mereka itulah golongan Alloh. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Alloh itulah orang-orang yang yang beruntung” (QS al-Mujaadilah: 22)[12].

Bentuk-bentuk penjagaan dan pembelaan para ulama Ahli hadits terhadap hadits-hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam dari jaman para Sahabat radhiAllohu ‘anhum, Tabi’in dan para ulama setelahnya

A. Jaman para Sahabat radhiAllohu ‘anhum
  1. Berhati-hati dan teliti dalam menerima hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam.
    Imam adz-Dzahabi mencantumkan biografi sahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddik radhiAllohu ‘anhu dalam kitab beliau “Tadzkiratul huffaazh”[13] dan beliau menyifati sahabat yang mulia ini sebagai orang yang pertama kali berhati-hati dan sangat teliti dalam menerima hadits-hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau membawakan sebuah riwayat dari Qubaishah bin Dzuwaib bahwa ada seorang nenek yang datang menghadap Abu Bakar ash-Shiddik radhiAllohu ‘anhu untuk meminta bagian dari harta warisan, maka Abu Bakar berkata: “Aku tidak mendapati ada bagian (warisan) untukmu dalam kitabullah (al-Qur’an) dan aku tidak mengetahui bahwa Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam menetapkan suatu (bagian warisan) untukmu”. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para Sahabat lainnya, lalu berdirilah al-Mugirah bin Sy’ubah radhiAllohu ‘anhu dan beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam memberikan (bagian) seperenam (dari warisan) untuk sorang nenek”. Maka Abu bakar bertanya kepada al-Mugirah: “Apakah ada (orang lain) bersamamu (yang menyaksikan hal tersebut)?”. Kemudian Muhammad bin Maslamah radhiAllohu ‘anhu mempersaksiakn hal yang sama, sehingga Abu Bakar radhiAllohu ‘anhu memberikan bagian tersebut kepada nenek tersebut”
    Sahabat yang mulia ‘Umar bin al-Khattab radhiAllohu ‘anhu, imam adz-Dzahabi berkata tentang beliau: “Umar bin al-Khattab-lah yang memberikan teladan baik kepada para ulama Ahli hadits tentang ketelitian dalam menukil (hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam), dan terkadang beliau tidak langsung menerima berita (hadits) dari seseorang jika beliau ragu”[14]. Kemudian imam adz-Dzahabi membawakan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri radhiAllohu ‘anhu bahwa Abu Musa al-Asy’ari radhiAllohu ‘anhu pernah mengunjungi ‘Umar bin al-Khattab radhiAllohu ‘anhu dan Abu Musa mengucapkan salam tiga kali dari balik pintu, karena tidak diizinkan (tidak dijawab) maka beliau pulang. Lalu ‘Umar radhiAllohu ‘anhu mengutus seseorang kepadanya dan bertanya: “Kenapa kamu pulang?”. Abu Musa radhiAllohu ‘anhu menjawab: Aku pernah mendengar Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian mengucapkan salam tiga kali lalu tidak dijawab maka hendaknya dia pulang”. ‘Umar berkata: “Sungguh kamu harus membawa bukti (saksi) atas hal ini atau aku akan menghukummu”. Kemudian Abu Musa radhiAllohu ‘anhu mendatangi para Sahabat lainnya radhiAllohu ‘anhum dalam keadaan pucat mukanya (karena takut) dan beliau berkat: “Apakah ada di antara kalian yang mendengar (sabda Rasululah shallAllohu ‘alaihi wa sallam tersebut)?”. Para Sahabat radhiAllohu ‘anhum berkata: “Iya, kami semua mendengarnya”. Lalu mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk menemui ‘Umar radhiAllohu ‘anhu bersama Abu Musa radhiAllohu ‘anhu, kemudian Sahabat tersebut radhiAllohu ‘anhu menyampaikannya kepada ‘Umar radhiAllohu ‘anhu[15].Imam Muslim membawakan riwayat dari Mujahid bin Jabr bahwa Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi (seorang tabi’in) pernah datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiAllohu ‘anhu, lalu Busyair mulai menyampaikan hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda”. Sedangkan Ibnu ‘Abbas radhiAllohu ‘anhu tidak mendengarkan haditsnya dan tidak menoleh kepadanya. Maka Busyair pun berkata: “Wahai Ibnu ‘Abbas, kenapa aku melihatmu tidak mau mendengarkan haditsku? Aku menyampaikan padamu hadits dari Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam dan kamu tidak mau mendengarnya?”. Ibnu ‘Abbas radhiAllohu ‘anhu menjawab: “Dulunya kami (para Sahabat radhiAllohu ‘anhum) jika mendengar seseorang berkata: “Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda”, maka kami segera mengarahkan pandangan dan pendengaran kami kepadanya, akan tetapi ketika manusia telah menempuh cara-cara yang baik dan buruk (kadang jujur dan kadang berdusta) maka kami tidak mau menerima (hadits) dari mereka kecuali yang telah kami ketahui (kebenarannya)”[16].
  2. Takut dalam menyampaikan hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam kecuali yang telah diyakini kebenaran penisbatannya kepada Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam.
    Dari Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiAllohu ‘anhu, beliau berkata: “Kalau bukan karena takut salah maka sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian hadits-hadits yang pernah aku dengar dari Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam atau pernah beliau shallAllohu ‘alaihi wa sallam ucapkan, hal ini (karena) aku pernah mendengar Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka”[17].
    Dari asy-Sya’bi dan Muhammad bin Sirin bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiAllohu ‘anhu jika menyampaikan hadits dari Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam maka wajah beliau akan berubah (karena takut) dan beliau berkata: “Demikianlah (sabda Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam) atau semakna dengannya”[18].
    Dari ‘Abdur Rahman bin Abi Laila beliau berkata: Kami berkata kepada Zaid bin Arqam radhiAllohu ‘anhu: “Sampaikan kepada kami hadits dari rasulullah shallAllohu ‘alaihi wa sallam”, beliau radhiAllohu ‘anhu berkata: “Kami telah tua dan banyak lupa, sedangkan (menyampaikan) hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam sangat berat”[19].
B. Jaman para Tabi’in dan para ulama setelahnya
  1. Menanyakan dan memeriksa isnad hadits (mata rantai para perawi sampai kepada Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam).
    Imam Muslim membawakan riwayat dari seorang ulama tabi’in yang mulia, Muhammad bin Sirin bahwa beliau berkata: “Dulunya para ulama Ahli hadits tidak bertanya tentang isnad hadits, tapi setelah terjadi fitnah (terbunuhnya sahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiAllohu ‘anhu dan bermunculannya Ahlul bid’ah) para ulama Ahli hadits berkata (kepada orang yang menyampaikan hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam): “Sebutkan kepada kami nama-nama para perawimu”, kemudian mereka melihat (jika para perawi tersebut) Ahlus sunnah maka diterima haditsnya dan (jika para perawi tersebut) Ahlul bid’ah maka tidak diterima haditsnya”[20].
  2. Meneliti keadaan dan sifat-sifat para perawi hadits yang berhubungan dengan kebaikan agama, kejujuran dan ketelitiannya dalam meriwayatkan hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam, inilah yang dikenal dengan ilmu al-jarhu wat ta’diil.
    Imam al-‘Iraqi berkata: “Hampir-hampir semua kitab rujukan ilmu hadits bersepakat (menjelaskan) bahwa pembicaraan tentang al-jarhu wat ta’diil (mengkritik dan memuji para perawi hadits) adalah perkara yang sejak dulu dilakukan oleh Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam, kemudian oleh banyak dari para Sahabat radhiAllohu ‘anhum, tabi’in dan para ulama setelah mereka”[21].
    Dari imam ‘Amr bin ‘Ali al-Fallas beliau berkata: Aku pernah mendengar imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata: “Aku pernah bertanya kepada (para imam Ahli hadits) Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Malik bin Anas dan Sufyan bin ‘Uyainah tentang seorang perawi yang tidak cermat dalam (meriwayatkan) hadits, kemudian ada orang lain yang bertanya kepadaku tentang perawi tersebut, (apa aku harus menjelaskan keadaannya)?”. Mereka menjawab: “(Iya), sampaikan kepadanya bahwa perawi tersebut tidak tidak cermat (dalam meriwayatkan hadits)”[22].
  3. Melakukan rihlah (perjalanan jauh) untuk mengumpulkan dan meneliti hadits-hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam.
    Imam al-Bukhari berkata: “Jabir bin Abdullah radhiAllohu ‘anhu telah melakukan perjalanan jauh selama sebulan (untuk menemui) ‘Abdullah bin Unais radhiAllohu ‘anhu dalam rangka (menanyakan) sebuah hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam[23].
    Imam Ibnu ash-Shalah menukil dari imam Ahmad, bahwa beliau ditanya: Apakah seorang (penuntut ilmu hadits) melakukan perjalanan untuk mencari (sanad) yang tinggi? Imam Ahmad menjawab: “Iya demi Alloh, dengan sungguh-sungguh. Sungguh  imam Alqamah dan al-Aswad (dua ulama besar tabi’in yang tinggal di Irak) ketika sampai kepada mereka hadits Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam dari ‘Umar bin al-Khattab radhiAllohu ‘anhu, maka mereka tidak puas sampai mereka keluar (melakukan perjalanan jauh ke Madinah) untuk menemui ‘Umar radhiAllohu ‘anhu dan mendengarkan hadits tersebut (langsung) darinya”[24].
Penutup
Demikianlah gambaran tentang pembelaan dan penjagaan para ulama Ahli hadits terhadap sunnah Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam, dari masa ke masa sampai di akhir jaman, dengan izin Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Contoh-contoh yang kami sebutkan hanya sebagian kecil dari bentuk-bentuk penjagaan dan pembelaan mereka terhadap sunnah. Semoga Alloh ‘Azza wa Jalla senantiasa membalas kebaikan dan jasa-jasa mereka dengan pahala yang sempurna di sisi-Nya, menjaga mereka yang masih hidup dalam kebaikan dan merahmati mereka yang sudah wafat. Sesungguhnya Dia Ta’ala Maha Mendengar dan Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 19 Dzulhijjah 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.

[1] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 429).
[2] Kitab “Ushuulus sunnah” (hal. 2).
[3] Kitab “ar-Raudhul baasim” (hal. 33).
[4] Lihat kitab “al-Hadiitsu hujjatun binafsihi fil ‘aqa-‘idi wal ahkaam” (hal. 22).
[5] Kitab “al-Ihkaam fi ushuulil ahkaam” (1/114).
[6] HR al-Baihaqi dalam “as-Sunanul kubra” (10/209), ath-Thabrani dalam “Musnadusy Syaamiyyiin” (1/344) dan imam-imam lainnya, dinyatakan shahih oleh imam Ahmad (lihat kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” 1/164), dikuatkan oleh imam Ibnul Qayyim (kitab “Thariiqul hijratain” hal. 522) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “Misykaatul mashaabiih” (no. 248).
[7] Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/163).
[8] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam kitab “al-Maudhuu’aat” (1/46) dan as-Suyuuthi dalam kitab “Tadriibur raawi” (1/282).
[9] Dinukil oleh imam al-Mizzi dalam kitab beliau “Tahdziibul kamaal” (31/556).
[10] HSR Muslim (no. 1920).
[11] Semuanya dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “ash-Shahiihah” (1/478).
[12] Kitab “Syarafu ashhaabil hadits” (hal. 31).
[13] Kitab “Tadzkiratul huffaazh”(1/2).
[14] Kitab “Tadzkiratul huffaazh”(1/6).
[15] Hadits ini lengkapnya terdapat dalam “Shahih al-Bukhari” (no. 5891) dan “Shahih Muslim” (no. 2153).
[16] HSR Muslim dalam muqaddimah “Shahih Muslim” (1/12).
[17] HR ad-Darimi (no. 235) dan Ahamad (3/172) dengan sanad yang shahih.
[18] HR ad-Darimi (no. 271), dalam sanadnya ada perawi yang lemah..
[19] HR Ibnu Majah (no. 25) dan Ahmad (4/370), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[20] Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah “Shahih Muslim” (1/15).
[21] Kitab “at-Taqyiid wal iidhaah” (hal. 440).
[22] Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah “Shahih Muslim” (1/16).
[23] Hadits tersebut adalah HR Ahmad (3/495) dan al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 970), dinyatakan hasan oleh imam al-Mundziri dan syaikh al-Albani (Shahih at-targib wat tarhib, no. 3608).
[24] Kitab “’Ulumul hadits” (hal. 223).

Sumber :
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
http://manisnyaiman.com/
Share this video :

0 comments:

Post a Comment

 
Lembaga : BAAK | UPT. Puskom | e-Journal UNP
Copyright © 2013. Kajian UNP - All Rights Reserved
Template by Maskolis.Com