Home » » Hukum Shalat di Masjid yang ada Kuburannya

Hukum Shalat di Masjid yang ada Kuburannya

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Ungkapan syukur alhamdulillah marilah kita persembahkan kehadirat Allah Subhanahu wa taala, dan Shalawat dan salam buat junjungan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.
Baiklah, sahabat blogger semua..

Selamat Berpuasa, semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT, dan semoga nantinya
usai Ramadhan, moga2 kita menjadi orang2 yang bertakwa.
Amiin.
Sahabat, Sering muncul pertanyaan di benak kita mengenai hukum shalat di Masjid yang ada kuburannya. Bolehkah atau tidak?? Lalu Bagaimana kepastian hukum shalat di Masjid Nabi yang di dalamnya terdapat kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam??
Pertanyaan ini timbul, seiring adanya pendapat atau fatwa sebahagian ulama yang kita temukan yang melarang hal tersebut.
Bagaimanakah hukum sebenarnya.??

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kami jelaskan terlebih dahulu beberapa hal menyangkut permasalahan ini.

Bahwasanya Islam melarang kita membangun masjid di atas kuburan ataupun mengubur seseorang di dalam masjid. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid". [Muttafaqun 'alaihi].

Demikian juga, dalam sebuah hadits disebutkan adanya larangan shalat menghadap kuburan, sebagaimana sabda Rasulullah:

لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا

"Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan janganlah duduk di atasnya". [HR Muslim]

Oleh sebab itu, para ulama melarang shalat di masjid yang ada kuburannya, bahkan dianggap tidak sah. Sebagaimana Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta Saudi Arabia telah menyatakan dalam fatwanya, bahwasanya terdapat larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, maka tidak diperbolehkan shalat disana dan shalatnya tidak sah. (Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` no. 5316)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَ صَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ, ألآ فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَكُمْ عَنْ ذَلِكَ

"Sungguh umat sebelum kalian dahulu telah membangun masjid-masjid di atas kuburan para nabi dan orang shalih mereka. Ketahuilah, janganlah kalian membangun masjid-masjid di atas kuburan, karena aku melarangnya". [HR Muslim].

Juga hadits A'isyah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَعْنَ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid".

Syaikh Shalih al Fauzan, di dalam fatwanya, beliau menyatakan: "Apabila kuburan-kuburan tersebut terpisah dari masjid oleh jalan atau pagar tembok, dan dibangunnya masjid tersebut bukan karena keberadaan kuburan tersebut, maka tidak mengapa masjid dekat dari kuburan, apabila tidak ada tempat yang jauh darinya (kuburan). Adapun bila pembangunan masjid tersebut di tempat yang ada kuburannya, dengan tujuan dan anggapan di tempat tersebut ada barakahnya, atau (menganggap) hal itu lebih utama, maka tidak boleh, karena itu merupakan salah satu sarana perantara perbuatan syirik." (Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih bin 'Abdillah bin Fauzan al Fauzan (2/171), fatwa no. 148.).

Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan Masjid Nabawi, yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka para ulama telah menjelaskan bahwa hukumnya berbeda dengan kuburan lainnya. Ketika menjawab pertanyaan seseorang yang menjadikan Masjid Nabawi -yang ada kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - sebagai dalil bolehnya shalat di dalam masjid yang ada kuburannya, Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` berfatwa :

Adapun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (beliau) dikuburkan di luar masjid, (yaitu) di rumah 'Aisyah. Sehingga pada asalnya, Masjid Nabawi dibangun untuk Allah dan dibangun tidak di atas kuburan. Namun masuknya kuburan Rasulullah n (ke dalam masjid), semata-mata disebabkan karena perluasan masjid. (Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` no. 5316 (6/257)
Permasalahan ini telah dikaji oleh beberapa ulama besar diantaranya Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullahu.

Kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin :“Jika ada yang mengatakan: kita sedang diliputi problem terkait dengan kuburan Rasulullah yang ada sekarang, karena berada di tengah masjid Nabawi, bagaimana jawabannya? Kami katakan, jawabannya ditinjau dari beberapa sisi sebagai berikut :
  1. Masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan, bahkan dibangun pada masa hidup beliau.

  2. Nabi tidak dikuburkan di dalam masjid sehingga dikatakan bahwa ini adalah penguburan orang-orang shalih di dalam masjid, bahkan beliau dikuburkan di dalam rumahnya.

  3. Perbuatan memasukkan rumah-rumah Rasulullah termasuk rumah ‘Aisyah ke dalam masjid (ketika perluasan masjid) bukan dengan kesepakatan para shahabat, bahkan hal itu terjadi setelah meninggalnya kebanyakan shahabat dan tidak tersisa dari mereka kecuali sedikit, yaitu sekitar tahun 94 H. Dengan demikian berarti hal itu bukan termasuk di antara perkara-perkara yang dibolehkan oleh para shahabat atau yang disepakati oleh mereka. Bahkan sebagian mereka (yang mendapati kejadian itu) mengingkarinya, dan juga diingkari oleh Sa’id bin Al-Musayyib2 dari kalangan tabi’in.

  4. Kuburan tersebut tidak dikategorikan berada dalam masjid meskipun setelah perluasan dan dimasukkan di dalamnya, karena kuburan tersebut berada di dalam kamar tersendiri terpisah dari masjid, jadi masjid Nabawi tidak dibangun di atasnya. Oleh karena itu dibuatkan 3 dinding yang mengelilingi kuburan tersebut dan dindingnya dijadikan menyimpang dari arah kiblat yaitu dengan bentuk segitiga, sudutnya ditempatkan pada sudut utara masjid, dimana seseorang yang shalat tidak akan menghadap ke kuburan tersebut karena posisi dindingnya yang menyimpang (dari arah kiblat). (Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabittauhid, 1/398-399).

Dengan demikian jelas bagi kita bahwa masjid Nabawi tidak termasuk dalam kategori masjid yang dibangun di atas kuburan yang dilarang shalat di dalamnya. Begitu pula orang yang shalat di dalamnya tidak akan jatuh dalam kategori shalat menghadap ke kuburan yang dilarang, karena bentuk dinding yang mengelilinginya sebagaimana dijelaskan di atas.

Syaikh al Albani rahimahullah, secara jelas juga mengatakan: "Masalah ini, walaupun saat ini secara nyata kita saksikan, namun pada zaman sahabat, hal tersebut tidak pernah ada. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, mereka menguburkannya di rumah beliau yang berada di samping masjid, dan terpisah dengan tembok yang terdapat pintu tempat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju masjid. Perkara ini terkenal dan dalam masalah ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. "

Maksudnya, para sahabat ketika menguburkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di kamar 'Aisyah, agar tidak ada seorangpun yang dapat menjadikan kuburan beliau sebagai masjid. Namun yang terjadi setelah itu, diluar perkiraan mereka. Peristiwa tersebut terjadi ketika al Walid bin Abdil Malik memerintakan penghancuran Masjid Nabawi pada tahun 88 H dan memasukkan kamar-kamar para isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke dalam masjid, sehingga kamar 'Aisyah dimasukkan ke dalamnya. Lalu jadilah kuburan tersebut berada di dalam masjid. Dan pada waktu itu, sudah tidak ada seorang sahabat pun yang masih hidup di Madinah.

Kemudian Syaikh al Albani memberikan kesimpulan hukum, bahwa hukum terdahulu (yaitu larangan shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburannya, Red.) mencakup seluruh masjid, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru, karena keumuman dalil-dalilnya. Satu masjid pun tidak ada pengecualian dari larangan tersebut, kecuali Masjid Nabawi. Karena Masjid Nabawi ini memiliki kekhususan, yang tidak dimiliki oleh masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. Seandainya dilarang shalat pada Masjid Nabawi, tentu larangan itu memberikan pengertian yang menyamakan Masjid Nabawi dengan masjid-masjid selainnya, dan menghilangkan keutamaan-keutamaan (yang dimiliki Masjid Nabawi tersebut). Hal seperti ini, jelas tidak boleh.[9]

Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah :


صَلاَةٌ فِيْ مَسْجِدِي هَذاَ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْماَ سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ (فَإِنَّهُ أَفْضَل


“Shalat di masjidku ini lebih utama dari seribu shalat di masjid-masjid yang lain kecuali Masjidil Haram, (karena shalat di Masjidil Haram lebih utama).” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim serta yang lainnya dari hadits Abu Hurairah. Juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari hadits Ibnu ‘Umar, dan tambahan yang ada (yaitu yang berada antara 2 tanda kurung) adalah riwayat Ahmad. Kemudian hadits ini diriwayatkan Ahmad dari banyak jalan periwayatan serta memiliki banyak penguat yang semakna dengannya dari beberapa shahabat yang lain.

Kesimpulan :
  • Jadi Shalat di masjid yang di depannya ada kuburan yang berada diluar tembok atau dinding masjid maka shalatnya tetap sah. Karena sesungguhnya larangan yang ada adalah shalat di masjid yang di dalamnya ada kuburan.

  • Shalat di Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi, tidak ada masalahnya. Yakni dibolehkan. Dan Shalat di masjid Nabi ini lebih utama dari seribu shalat di masjid-masjid yang lain kecuali Masjidil Haram.

Sumber : Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Share this video :

0 comments:

Post a Comment

 
Lembaga : BAAK | UPT. Puskom | e-Journal UNP
Copyright © 2013. Kajian UNP - All Rights Reserved
Template by Maskolis.Com